"Sengketa Informasi Publik Dana Haji, Kemenag Sulut Tegaskan Batas Kewenangan Administratif".
![]() |
| Saat sidang informasi publik berlangsung, (foto idnews.co) |
IDNEWS.CO, MANADO,- Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Utara menggelar sidang Adjudikasi Non Litigasi antara Lembaga Swadaya Masyarakat Rakyat Anti Korupsi (RAKO) Sulut melawan Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Utara.
Persidangan yang berlangsung di Ruang Sidang Resmi KIP Sulut, Senin (22/9/25) menghadirkan dinamika Argumentasi yang menyingkap hubungan erat antara Regulasi, Kewenangan Administratif, serta hak Publik dalam memperoleh akses terhadap dokumen Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Majelis Komisioner KIP Sulut dipimpin oleh Ketua Majelis Isman Momintan bersama anggota Wanda Turangan dan Andrew Mongdong.
Dari pihak pemohon hadir langsung Ketua LSM RAKO Sulut, Arianto Nanga, yang menegaskan hak masyarakat sipil untuk mengetahui detail penggunaan biaya haji dan aliran dana hibah pemerintah daerah.
Dari pihak termohon, Kanwil Kemenag Sulut mengutus Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), Hi. Wahyuddin Ukoli, didampingi tim dari Bidang Haji dan Umroh.
Majelis membacakan tujuh permintaan informasi dari pemohon yang mencakup rincian biaya lokal penyelenggaraan haji, dokumen pencairan hibah pemerintah provinsi serta kabupaten/kota, hingga kontrak carter pesawat yang digunakan dalam pemberangkatan jamaah.
RAKO menilai, transparansi terhadap data-data tersebut penting guna memastikan akuntabilitas publik, karena potensi kerentanan praktik pengelolaan dana haji seringkali menjadi sorotan masyarakat luas.
Kemenag Sulut memberikan jawaban dengan mengacu pada landasan regulasi dan pembagian kewenangan administratif.
Menurut penjelasan Wahyuddin Ukoli, rincian biaya lokal haji sepenuhnya bersumber dari dana jamaah yang dikelola dalam skema non-anggaran negara.
Posisi Kemenag hanya sebatas fasilitator administratif, sehingga tidak terdapat pencatatan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Dengan argumentasi tersebut, Kemenag menegaskan tidak memiliki dokumen sebagaimana diminta pemohon.
Sementara itu salah tim dari termohon , Dr. Tawil Asraka, memperkuat pernyataan tersebut dengan menguraikan aspek yuridis.
Ia merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2025 yang menegaskan bahwa mekanisme pengadaan barang dan jasa, melalui tender hanya berlaku bagi dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Karena dana jamaah haji berada dalam kategori dana masyarakat, maka kontrak carter pesawat tidak masuk dalam rezim pengadaan barang/jasa negara.
Dengan demikian, permintaan RAKO terhadap dokumen kontrak dan kuitansi harga tidak dapat dipenuhi karena tidak termasuk dalam domain keterbukaan informasi publik yang wajib dimiliki Kemenag.
Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah keberadaan tali kasih pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk jamaah haji.
Pihak Kemenag Sulut menegaskan bahwa tali kasih tersebut ditransfer langsung ke rekening jamaah penerima, tanpa melalui mekanisme pengelolaan di Kanwil Kemenag.
Konsekuensinya, pertanggung jawabannya melekat pada pemberi dana, dalam hal ini pemerintah daerah, serta penerima yaitu jamaah.
Posisi Kemenag dalam konteks hanyalah lembaga fasilitator informasi keberangkatan, bukan pengelola dana talih kasih.
Persidangan ini memiliki signifikansi karena memperlihatkan bagaimana batas kewenangan institusi negara ditentukan oleh regulasi positif.
Transparansi publik tidak dapat dilepaskan dari kerangka hukum yang membatasi siapa yang berhak mengelola dan siapa yang wajib membuka data.
Fakta persidangan menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara pihak LSM yang menuntut keterbukaan seluas-luasnya, dengan lembaga negara yang tunduk pada batas kewenangan administratif.
Majelis Komisioner KIP Sulut menunda persidangan dan menjadwalkan kelanjutan sidang pada pekan berikutnya.
Penundaan tersebut bertujuan memberikan ruang bagi Majelis untuk menganalisis lebih mendalam argumentasi hukum yang diajukan serta kemungkinan menghadirkan bukti tambahan dari kedua belah pihak.
Hingga persidangan tahap pertama, posisi Kemenag Sulut dinilai cukup kokoh karena telah menguraikan jawaban berdasarkan norma hukum, bukan sekadar argumentasi teknis.
(Yudi barik)
