LSM-AMTI Kecam, PT. HWR Serobot Lahan, Langgar SOP, dan Abaikan Keselamatan Lingkungan

"Rakyat Ratatotok Menggugat: Tambang PT. HWR Diduga Ilegal dan Ancam Kedaulatan Agraria".

Ketua DPP LSM AMTI, Tommy Turangan, (foto istimewa)

IDNEWS.CO, MINAHASA TENGGARA,- Bencana Sosial-Ekologis yang berakar dari pengelolaan tambang yang tidak transparan kembali mencuat di Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara.


Kali ini, sorotan publik tertuju pada aktivitas tambang PT. Hakian Wellem Rumansi (PT. HWR) yang diduga keras melakukan penyerobotan lahan Milik Warga.


Dugaan itu tak hanya menimbulkan kemarahan masyarakat, namun juga mengundang kecaman tajam dari lembaga swadaya masyarakat.


Aktivitas pertambangan yang dilakukan PT. HWR selama beberapa waktu terakhir memunculkan beragam persoalan serius.


Tidak hanya menyangkut aspek legalitas, tetapi juga menyangkut aspek sosial, lingkungan, dan pelanggaran terhadap prinsip dasar hak atas tanah.


Warga mengklaim lahannya diserobot menyebut bahwa tidak pernah terjadi proses pembebasan lahan yang sah, namun alat berat milik perusahaan telah masuk dan melakukan penggalian serta aktivitas eksplorasi.


Berdasarkan keterangan warga yang tergabung dalam aksi unjuk rasa, perusahaan tambang tersebut dinilai telah bertindak sewenang-wenang dengan memasuki dan mengeksploitasi lahan yang status kepemilikannya masih jelas berada di tangan masyarakat.


“Kami tidak pernah menandatangani pelepasan hak, tidak ada ganti rugi, dan tidak pernah ada sosialisasi. Tapi tiba-tiba alat berat masuk, pohon kami diratakan. Ini jelas bentuk penyerobotan,” ungkap Yulianus, seorang pemilik lahan yang hadir dalam aksi, Selasa (15/7/2025).


Menurut warga, kejadian bukan saja kali pertama perusahaan tambang bertindak di luar prosedur. Namun, dalam kasus PT. HWR, tindakan tersebut semakin mencolok karena dilakukan di tengah penolakan dari masyarakat dan dalam situasi izin operasi yang masih dipertanyakan.


Kecaman terhadap tindakan PT. HWR juga datang dari Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (DPP LSM-AMTI), Tommy Turangan, SH. Ia menilai bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan telah melanggar hukum secara nyata dan memenuhi unsur pidana dalam konteks pertanahan dan administrasi pertambangan.


“Ini bukan sekadar persoalan teknis, namun adalah perampasan hak masyarakat atas tanah yang dilindungi konstitusi. Tindakan PT. HWR merupakan bentuk kejahatan agraria yang tidak boleh dibiarkan,” ujar Turangan, saat dirinya memberikan keterangan terhadap awak media belum lama ini.


Lebih lanjut Dirinya menyatakan bahwa tindakan penyerobotan tanah merupakan pelanggaran terhadap Pasal 385 KUHP dan juga melanggar asas legalitas dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.


Pihaknya mendesak agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kepolisian segera melakukan tindakan hukum terhadap aktivitas ilegal tersebut.


Lebih mengkhawatirkan lagi, PT. HWR ternyata sudah pernah mendapat penolakan resmi dari Kementerian ESDM atas pengajuan Rencana Anggaran dan Kerja Biaya (RAKB), yang seharusnya menjadi dasar bagi keberlanjutan aktivitas pertambangan.


Namun anehnya, kendati dokumen penting tersebut ditolak, perusahaan tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.


Dalam sistem perizinan tambang yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), penolakan RAKB oleh ESDM secara otomatis menangguhkan atau bahkan menggugurkan hak operasi sebuah perusahaan.


Jika perusahaan tetap melanjutkan kegiatan tambangnya, maka dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana, sesuai dengan ketentuan pasal 158 UU Minerba.


 “Ini pelanggaran terbuka terhadap peraturan negara. Jika tidak segera ditindak, ini menjadi preseden buruk bahwa perusahaan tambang bisa melawan negara dan hukum,” tambah Turangan.


Sebagai tambahan fakta yang menguatkan dugaan pelanggaran, DPRD Kabupaten Minahasa Tenggara sudah pernah secara resmi merekomendasikan penghentian kegiatan PT. HWR pada April 2025 lalu.


Rekomendasi itu muncul setelah digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan pihak perusahaan, perwakilan warga, dan unsur pemerintah daerah.


Dalam hasil RDP, disebutkan bahwa PT. HWR belum memenuhi kewajiban administratif, tidak memiliki SOP keselamatan kerja yang memadai, dan belum menunjukkan kontribusi nyata terhadap masyarakat lokal. Bahkan perusahaan dinilai mengabaikan prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan.


“PT. HWR tidak bisa menunjukkan satu pun program CSR untuk warga Ratatotok, dan tidak ada jaminan keselamatan kerja yang diberikan kepada para pekerjanya. Maka kami DPRD secara resmi merekomendasikan penghentian sementara hingga tuntas semua aspek,” ungkap seorang anggota DPRD yang mengikuti rapat.


Dengan menguatnya dugaan pelanggaran hukum dan administratif oleh PT. HWR, LSM-AMTI bersama sejumlah elemen masyarakat sipil kini mendorong tiga langkah konkret:


1. Pencabutan Izin Operasi oleh Kementerian ESDM.



2. Tindakan hukum dari Polda Sulawesi Utara, termasuk pemasangan garis polisi (police line) di lokasi.



3. Instruksi Gubernur Sulut untuk tidak memberikan dukungan terhadap kegiatan tambang yang tidak berpihak pada rakyat.


“Jika negara tidak hadir, maka konflik horizontal akan makin meluas. Ini bukan sekadar tambang—ini soal hak hidup masyarakat lokal,” ujar Turangan.


Kasus PT. HWR adalah satu dari sekian contoh bagaimana investasi pertambangan yang dikelola tanpa transparansi dan akuntabilitas bisa menjadi ancaman serius bagi keadilan agraria, lingkungan, dan keberlangsungan sosial masyarakat lokal. Negara harus hadir melalui instrumen hukum dan pengawasan yang kuat.


Redaksi IDNEWS.CO berkomitmen untuk terus mengawal kasus ini, termasuk melalui laporan investigasi lanjutan, penelusuran dokumen hukum dan perizinan, serta publikasi laporan berseri hingga ke jalur advokasi kebijakan.


(Yb)




Lebih baru Lebih lama