"Hi.Wahyudin sebut, yang disengketakan bukan penggunaan dana pemerintah, melainkan dana kolektif jamaah yang dikumpulkan secara sukarela".
![]() |
| Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Sulut, Wahyudin Ukoli,(foto istimewa) |
IDNEWS.CO, MANADO,- Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulawesi Utara, menegaskan penolakannya terhadap putusan sengketa informasi publik yang diputuskan oleh Majelis Komisioner Komisi Informasi Publik (KIP) Sulawesi Utara.
Penolakan tersebut bukan sekadar perbedaan pendapat administratif, melainkan bentuk kritik terhadap lemahnya pemahaman KIP dalam menelaah substansi perkara yang disengketakan.
Langkah hukum akan segera ditempuh. Kemenag Sulut berencana mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai upaya mengoreksi putusan yang dinilai tidak sesuai dengan fakta dan dasar hukum.
Pernyataan tersebut disampaikan Kepala Bidang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Sulut, Wahyudin Ukoli, seusai mengikuti sidang pembacaan putusan di kantor Komisi Informasi Publik Sulut, Rabu (15 Oktober 2025).
![]() |
| Suasana saat sidang informasi publik berlangsung, (foto istimewa) |
Menurut Wahyudin Ukoli, pokok perkara yang diajukan oleh LSM Rako sesungguhnya tidak berada dalam lingkup kewenangan Komisi Informasi Publik.
KIP Sulut dinilai gagal memahami substansi perkara karena tidak membedakan antara informasi publik, yang bersumber dari keuangan negara dengan informasi privat yang lahir dari kesepakatan antarjamaah haji.
“Yang dimohonkan sebagai objek sengketa adalah data biaya lokal penyelenggaraan haji. Padahal, biaya tersebut bukan bersumber dari APBN maupun APBD, melainkan hasil kesepakatan jamaah sendiri. Sehingga secara hukum, tidak dapat dikategorikan sebagai informasi publik,” jelas Wahyudin.
Kemenag menilai KIP terjebak dalam penafsiran sempit terhadap definisi badan publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Dalam ketentuan itu dijelaskan bahwa badan publik adalah lembaga yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran negara, serta memiliki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan.
“Dalam kasus ini, yang disengketakan bukan penggunaan dana pemerintah, melainkan dana kolektif jamaah yang dikumpulkan secara sukarela. KIP seharusnya memahami perbedaan mendasar antara dana publik dan dana pribadi,” tegasnya.
Kemenag Sulut menegaskan, hubungan antara jamaah dan penyelenggara dalam konteks biaya lokal bersifat perdata, bukan administrasi negara.
Hal itu diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.
Dengan demikian, apa yang terjadi dalam pengelolaan biaya lokal bukanlah transaksi keuangan negara, melainkan kesepakatan antara warga yang memiliki tujuan sama untuk melaksanakan ibadah haji.
Wahyudin menjelaskan, pembiayaan lokal muncul karena belum adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang dukungan biaya tambahan penyelenggaraan haji di daerah pada tahun 2024.
Karena itu, pada tahun 2025 pembiayaan dilakukan dengan prinsip efisiensi melalui swadaya jamaah.
“Sumber dan mekanisme pengumpulan dana berasal dari jamaah sendiri, tanpa keterlibatan APBN maupun APBD. Logikanya sederhana, jika beberapa orang sepakat mengumpulkan uang untuk kegiatan bersama, maka tanggung jawabnya berada di antara mereka sendiri, bukan ranah publik yang harus dibuka untuk umum,” ungkap Wahyudin dengan nada tegas.
Kemenag Sulut juga menilai putusan Majelis Komisioner KIP Sulut mengabaikan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan. Wahyudin menyebut, argumentasi majelis cenderung formalistik dan tidak mendalami substansi hukum yang menjadi inti sengketa.
“Putusan majelis sama sekali tidak mempertimbangkan keterangan maupun keberatan yang kami sampaikan secara lisan dan tertulis. Seolah-olah KIP hanya menilai dari permukaan tanpa memahami hakikat hukum yang berlaku,” ujarnya.
Menurut Kemenag, Komisi Informasi seharusnya berhati-hati dalam menafsirkan objek sengketa agar tidak menabrak batas kewenangannya sendiri. Kelemahan dalam memahami konteks perkara dapat menciptakan preseden buruk bagi tata kelola keterbukaan informasi di daerah.
“Jika setiap informasi yang bersifat pribadi kemudian dianggap wajib dibuka hanya karena melibatkan lembaga publik sebagai fasilitator, maka hal itu bisa mengaburkan batas antara transparansi dan pelanggaran hak privat warga,” tambah Wahyudin.
Atas dasar keberatan tersebut, Kemenag Sulut memastikan akan menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan ini dimaksudkan sebagai upaya korektif terhadap kelemahan substantif dalam putusan KIP Sulut.
Kemenag berharap, PTUN dapat menilai kembali dasar hukum fakta persidangan, dan kompetensi lembaga yang menangani sengketa informasi.
“Kami menghormati keputusan KIP sebagai lembaga resmi, tetapi kami berkewajiban menegakkan kebenaran hukum. Karena itu, langkah ke PTUN menjadi pilihan untuk menguji kembali putusan yang tidak mencerminkan keadilan,” tutup Wahyudin.
Sengketa antara Kemenag Sulut dan LSM Rako memperlihatkan adanya kerancuan yuridis dalam penerapan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Di satu sisi, transparansi menjadi prinsip utama dalam pengelolaan lembaga publik.
Namun di sisi lain, batasan antara informasi publik dan informasi privat masih sering disalahpahami, terutama ketika objek perkara melibatkan dana non-APBN/APBD.
Kelemahan KIP Sulut dalam menggali substansi perkara dapat menjadi pelajaran penting bagi seluruh lembaga penyelesaian sengketa informasi di Indonesia.
Keterbukaan informasi seharusnya tidak diterapkan secara serampangan tanpa memperhatikan sumber dana dan hubungan hukum antar pihak yang bersengketa.
Apabila gugatan Kemenag dikabulkan oleh PTUN, putusan ini berpotensi menjadi preseden hukum baru dalam mengukuhkan bahwa informasi berbasis swadaya masyarakat tidak serta-merta masuk kategori informasi publik yang wajib dibuka oleh badan publik.
(Yudi barik)

