Diduga Kepsek SMK Negeri 3 Manado Kumabal, Tak Indahkan Program Asta Cita Presiden Prabowo

"LSM RAKO Desak Gubernur Sulut evaluasi dan tindak Kepala Sekolah nakal yang gelar penamatan di akhir tahun ajaran".

Suasana penamatan sekolah di graha gubernuran sulut, (foto istimewa)

IDNEWS.CO, SULUT,- Lembaga Swadaya Masyarakat Rakyat Anti Korupsi (LSM-RAKO), menyampaikan keprihatinan mendalam atas pelaksanaan kegiatan penamatan atau wisuda oleh sejumlah satuan pendidikan di Sulawesi Utara.


Kegiatan tersebut dinilai tidak hanya menabrak regulasi yang berlaku, tetapi juga berpotensi menambah beban ekonomi masyarakat, khususnya orang tua peserta didik.


Di tengah meningkatnya tekanan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian besar keluarga, pelaksanaan kegiatan seremoni penamatan siswa di tingkat TK, SD, SMP, hingga SMA atau SMK menjadi sorotan tajam.


Ketua LSM RAKO, Arianto Ngana menilai, pelaksanaan wisuda di akhir tahun ajaran tidak relevan dan cenderung menjadi beban tambahan yang tidak diperlukan, terutama ketika keluarga masih harus mempersiapkan biaya untuk kelanjutan pendidikan anak ke jenjang lebih tinggi.


Dirinya juga menyatakan bahwa penyelenggaraan wisuda yang dilakukan oleh sejumlah sekolah bertentangan dengan peraturan resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.


Regulasi tersebut secara tegas melarang kegiatan seremoni kelulusan yang bersifat formal dan membebani keuangan orang tua siswa.


Selain bertentangan dengan regulasi nasional, pelaksanaan penamatan juga dianggap tidak sejalan dengan visi besar Presiden Republik Indonesia ke-8, Prabowo Subianto, melalui program Asta Cita yang mengedepankan efisiensi anggaran, terutama dalam konteks ekonomi keluarga.


Dalam program tersebut, Presiden Prabowo menekankan pentingnya efisiensi penggunaan dana, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional yang inklusif.


Arianto bahkan menyoroti secara khusus pelaksanaan wisuda oleh salah satu Sekolah Negeri di Manado, yakni SMK Negeri 3.


Berdasarkan informasi yang diterima dari masyarakat, sekolah tersebut menggelar kegiatan penamatan yang melibatkan sekitar 1.000 siswa dan diselenggarakan di Gedung Graha Gubernuran Sulawesi Utara.


Fakta di lapangan menunjukkan bahwa orang tua siswa diminta untuk menanggung berbagai jenis biaya, mulai dari sewa gedung, jasa kebersihan, keamanan, hingga penyewaan perlengkapan acara.


Tak hanya itu, orang tua juga harus mengeluarkan dana tambahan untuk pembelian pakaian seragam wisuda seperti kebaya, sepatu, sanggul, rias wajah, serta biaya transportasi pulang-pergi menuju lokasi acara.


Jika dikalkulasikan secara rinci, total pengeluaran yang harus ditanggung oleh setiap orang tua siswa mencapai sekitar Rp1.500.000.


Jumlah tersebut tentu sangat signifikan, terutama bagi keluarga dengan pendapatan menengah ke bawah.


LSM RAKO menilai, alokasi dana sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan pendidikan lanjutan, seperti biaya pendaftaran kuliah, seragam sekolah baru, atau pembelian buku pelajaran.


Lebih memprihatinkan lagi, kegiatan wisuda dilaksanakan oleh pihak sekolah justru sering kali berlindung di balik alasan permintaan siswa atau orang tua.


LSM RAKO menilai argumen tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran untuk mengabaikan regulasi dan mengorbankan kepentingan masyarakat luas.


Oleh karena itu, RAKO mendesak Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara untuk tidak menutup mata terhadap praktik semacam ini.


Kepala daerah diharapkan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan penamatan di berbagai sekolah, khususnya yang berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi.


Jika ditemukan pelanggaran terhadap aturan resmi dan kebijakan efisiensi nasional, LSM RAKO meminta agar diberikan sanksi tegas kepada kepala sekolah yang terbukti melanggar.


Dalam pernyataan resminya, Pihaknya juga mengajak pemerintah daerah Sulawesi Utara untuk mencontoh langkah tegas yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi, secara eksplisit melarang pelaksanaan wisuda di tingkat pendidikan dasar dan menengah.


Kebijakan tersebut diapresiasi luas karena mampu meringankan beban orang tua tanpa mengurangi nilai penghargaan atas pencapaian akademik siswa.


Kegiatan penamatan seharusnya cukup dilaksanakan secara sederhana dan bermakna di lingkungan sekolah tanpa biaya tambahan yang memberatkan.


Prinsip gotong royong dan efisiensi seharusnya menjadi landasan utama dalam setiap kegiatan pendidikan, agar akses terhadap pendidikan yang lebih tinggi dapat terbuka luas bagi seluruh anak bangsa, tanpa terhambat oleh beban ekonomi yang tidak perlu.


LSM RAKO menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara yang harus dilindungi dari praktik komersialisasi yang tidak bertanggung jawab.


Pemerintah daerah diharapkan mampu mengambil langkah konkret dan berpihak kepada masyarakat, agar setiap anak Indonesia dapat melanjutkan pendidikannya tanpa tekanan ekonomi yang tidak semestinya.


(Yudi barik)


Lebih baru Lebih lama