"FGD KAHMI Sulut: Dorong BUMD Kelola Tambang, Targetkan PAD Naik".
![]() |
Saat kegiatan berlangsung, (foto istimewa) |
IDNEWS.CO, MANADO,- Di tengah sorotan publik terhadap minimnya kontribusi dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara terhadap pendapatan asli daerah (PAD), Majelis Wilayah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sulawesi Utara mengambil inisiatif penting.
Sebuah forum diskusi kelompok terfokus (FGD) diselenggarakan guna membuka ruang wacana dan solusi terhadap stagnasi peran strategis BUMD dalam mengelola potensi sumber daya alam di sektor pertambangan.
Acara yang berlangsung Sabtu sore, (21/6/25), di Kafe Tang, kawasan Komo Dalam, Kota Manado, itu mengangkat tema "BUMD Berdaya, Genjot PAD: Kelola Tambang Aman dan Ramah Lingkungan".
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber utama yang berkompeten, yakni Kepala Kejaksaan Negeri Kota Bitung, Dr. Yadyn Palebangan, serta mantan Wali Kota Kotamobagu, Tatong Bara.
Kritik terhadap dua BUMD milik Pemprov Sulut—yakni PT Sulut Membangun Hebat dan PD Pembangunan—semakin menguat lantaran keduanya dinilai gagal memberikan kontribusi nyata terhadap PAD.
Padahal, di tengah keterbatasan fiskal daerah, peran BUMD sebagai instrumen ekonomi daerah seharusnya mampu menjadi motor penggerak PAD dari sektor potensial seperti pertambangan mineral.
Melihat fenomena tersebut, KAHMI Sulut melalui FGD ini berupaya mendorong lahirnya gagasan regulatif dan operasional yang bisa dijadikan pijakan bagi penguatan peran BUMD.
“FGD adalah bentuk kontribusi nyata KAHMI dalam memberikan bahan pemikiran kepada pemerintah daerah, khususnya Pemprov Sulut, agar pengelolaan sumber daya alam tidak hanya menjadi monopoli swasta, tapi juga bisa digarap BUMD untuk kepentingan rakyat,” ujar Koordinator Presidium KAHMI Sulut, Suardi Hamzah, saat membuka kegiatan.
Moderator diskusi, Idam Malewa yang juga pengurus KAHMI Sulut, menegaskan bahwa pokok bahasan dalam FGD ditujukan sebagai bahan pemikiran strategis untuk merumuskan kebijakan baru terkait peran BUMD, dalam tata kelola sektor pertambangan.
Ia menekankan bahwa saatnya BUMD mengambil peran dalam mengelola tambang secara aman, berkelanjutan, dan berorientasi pada kepentingan daerah.
Dr. Yadyn Palebangan dalam paparannya secara komprehensif menguraikan berbagai potensi yang bisa digarap oleh BUMD Sulut, khususnya pada sektor pertambangan mineral logam seperti emas.
Dirinya menyebut, ada tiga skema strategis yang dapat diadopsi oleh BUMD dalam mengelola potensi tambang:
1. Skema Mandiri (self-operating): BUMD bertindak sebagai pelaksana tunggal dengan mengelola seluruh proses tambang, dari hulu ke hilir.
2.Skema Kemitraan atau Joint Operation (JO): BUMD menggandeng investor atau BUMN, berbagi peran dan hasil sesuai porsi saham dan kontribusi modal.
3.Skema Tender atau Konsesi Terbuka: Proyek ditenderkan kepada pihak ketiga, dengan pengawasan dan kontrol penuh oleh BUMD sebagai pemegang izin daerah.
Yadyn mencontohkan keberhasilan skema BUMD di Provinsi Sulawesi Selatan yang menggandeng PT Antam untuk mengelola tambang nikel di Sorowako.
Dalam pola tersebut, Pemda menyediakan lahan konsesi, sedangkan PT Antam berkontribusi dalam hal pendanaan dan operasional. Keuntungan dibagikan dalam bentuk dividen sesuai dengan porsi saham.
“Pertanyaannya bukan pada bisa atau tidak bisa, tetapi pada ada atau tidak adanya political will dari pemerintah daerah untuk mendorong BUMD mengambil peran strategis,” tegas doktor hukum lulusan Universitas Leiden, Belanda, itu.
Namun gagasan ini tidak lepas dari kritik. Dirut Malut Post dan Posko, Tauhid Arief, menyatakan keraguannya terhadap kesiapan BUMD Sulut dalam mengelola sektor pertambangan, apalagi emas.
Pihaknya menyebutkan bahwa pengelolaan tambang emas jauh lebih kompleks dibandingkan tambang nikel, baik dari sisi teknis maupun pembiayaan.
“Saya kira terlalu ideal jika hari ini kita berharap BUMD Sulut bisa langsung mengelola tambang emas. Butuh tenaga profesional dan struktur pendanaan yang kuat. Jangan sampai wacana ini malah jadi beban baru,” ujar Tauhid.
Kritik senada disampaikan pengusaha Baso Afandy, yang justru menyarankan agar BUMD fokus terlebih dahulu pada sektor yang lebih mudah dan terukur, seperti jasa parkir, layanan logistik, atau transportasi bandara.
Dia menilai sektor tambang terlalu rumit untuk dikelola tanpa manajemen yang benar-benar siap.
“Kalau memang BUMD tidak diberi kepercayaan, mungkin karena pemerintah takut dimintai pertanggungjawaban jika gagal,” sentilnya.
Advokat Rahmat Adam mengingatkan pentingnya payung hukum yang kuat dan tidak menabrak regulasi nasional.
Dirinya juga mempertanyakan bagaimana posisi BUMD jika bersinggungan dengan kontrak karya atau wilayah pertambangan rakyat (WPR) yang telah dikelola oleh koperasi atau swasta.
Sementara itu, Stenly, pemerhati lingkungan, mengangkat isu krusial soal pengawasan lingkungan.
Dia menekankan bahwa pengelolaan tambang harus dilakukan secara transparan, berkelanjutan, dan berbasis pada prinsip keadilan ekologis.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Yadyn menegaskan bahwa semua aktivitas tambang oleh BUMD harus tunduk pada prinsip good mining practice (GMP).
“BUMD tidak boleh semata-mata mengejar keuntungan. Harus ada tanggung jawab sosial dan lingkungan. Konsep BUMD Hijau itu bukan hanya jargon, tapi keharusan moral dan hukum,” tegasnya.
FGD yang berlangsung hampir tiga jam tersebut berhasil merangkum berbagai gagasan, kritik, dan solusi konstruktif terhadap peran BUMD Sulut ke depan.
Dari dialog yang intens itu terlihat bahwa ada peluang besar bagi BUMD untuk bertransformasi menjadi entitas ekonomi daerah yang tidak hanya berorientasi bisnis, tetapi juga menjunjung nilai keberlanjutan dan akuntabilitas.
Dengan hasil diskusi ini, KAHMI Sulut berencana merumuskan dokumen kajian yang akan diserahkan kepada Pemprov Sulut sebagai bahan rekomendasi kebijakan dalam merancang ulang arah pengembangan BUMD, khususnya di sektor pertambangan yang selama ini belum tersentuh secara optimal.
(Yudi barik)