Sengaja Menyebut Polda Sulut, Diduga Galian C Di Paal Empat Tanpa Izin Bebas Beroperasi

" Padahal camat tikala sebut sudah pernah di suruh berhenti tapi tetap beroperasi".



IDNEWS.CO, MANADO – Sorotan Publik kembali mengarah pada Persoalan Aktivitas Galian C yang Beroperasi tanpa izin resmi di Wilayah Paal Empat, Lingkungan Enam, Kecamatan Tikala, Kota Manado.


Kegiatan Pengerukan tmTanah dan Bebatuan di Kawasan tersebut tetap berlangsung, meski Pemerintah Kota melalui Aparat Kecamatan telah mengeluarkan perintah penutupan.


Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen aparat penegak hukum dalam menegakkan aturan pertambangan.


Hasil penelusuran lapangan menemukan adanya dugaan keterlibatan pihak-pihak berpengaruh.


Seorang pengawas tambang dengan gamblang menyatakan bahwa kegiatan penggalian sudah “diamankan” melalui koordinasi dengan aparat kepolisian.


Ia bahkan menyebut nama Bartje, sosok yang diklaim memiliki akses langsung ke Polda Sulawesi Utara dan menjadi penghubung antara pengusaha galian c dengan aparat.


Namun, klaim tersebut langsung terbantahkan. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Manado menegaskan bahwa lokasi tambang tersebut tidak memiliki izin lingkungan, maupun dokumen analisis dampak (AMDAL).


Hal senada juga ditegaskan oleh Camat Tikala, Henry Meicle Johny Kontu, SP. Dirinya menyatakan bahwa lahan tambang itu telah ditutup secara resmi melalui surat perintah.


“Sudah ada penegasan dari pemerintah. Lokasi tersebut bermasalah secara hukum dan tidak boleh ada aktivitas lagi. Jika masih berjalan, berarti ada pihak yang sengaja melanggar,” ujar Camat Tikala ketika dimintai keterangan, Kamis (21/8/25) Siang tadi.


Sementara itu bagi masyarakat sekitar, operasi galian C ilegal di jantung Kota Manado itu menimbulkan keresahan. Warga mengeluhkan debu yang beterbangan setiap hari, suara bising alat berat, jalan lingkungan yang rusak akibat keluar masuk truk, hingga ancaman longsor yang sewaktu-waktu bisa mengancam keselamatan.


Tidak hanya aspek lingkungan, masyarakat juga menyoroti dampak sosial berupa hilangnya rasa keadilan, sebab pengusaha yang melanggar hukum seolah dibiarkan beroperasi tanpa sanksi.


Seorang tokoh masyarakat menegaskan, kalau hukum hanya tajam ke bawah, sementara yang punya uang dan kekuasaan dilindungi, kepercayaan publik kepada aparat akan runtuh. Tambang ini jelas merugikan rakyat kecil, tapi malah dibiarkan.


Tambang berada di kawasan penduduk di Kelurahan Paal 4, yang secara geografis rentan terhadap bencana longsor. Posisi lahan berada tidak jauh dari permukiman warga, serta jalur lalu lintas utama.


Situasi ini menambah kekhawatiran, sebab setiap kali musim hujan datang, risiko runtuhan tanah menjadi ancaman nyata.


Meski penutupan dilakukan sejak beberapa bulan lalu, pantauan awak media menunjukkan bahwa aktivitas tambang masih berlangsung hingga pekan ini.


Alat berat terus beroperasi di siang hari, sementara truk pengangkut material hilir-mudik tanpa hambatan. Fakta ini memperlihatkan lemahnya pengawasan, sekaligus dugaan adanya pembiaran dari aparat berwenang.


Hasil pantauan awak media menerangkan bahwa keberanian pengusaha tambang tetap beroperasi tidak lepas dari dugaan backing oknum aparat kepolisian.


Dengan adanya “payung pelindung” tersebut, pengusaha merasa aman untuk melanjutkan eksploitasi meski sudah ada larangan resmi. Kondisi inilah yang membuat masyarakat menduga bahwa praktik tambang ilegal telah menjadi ladang bisnis bagi pihak-pihak tertentu.


Hingga kini, Polda Sulawesi Utara belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam melindungi tambang bermasalah tersebut.


Masyarakat mendesak Kapolda Sulut segera mengambil langkah tegas, tidak hanya dengan menutup lokasi tambang, tetapi juga memproses hukum siapa pun yang terlibat, baik pengusaha maupun aparat yang diduga bermain di balik layar.


Aktivis lingkungan memperingatkan bahwa pembiaran terhadap tambang ilegal akan berakibat ganda, Negara kehilangan potensi penerimaan pajak, sementara masyarakat harus menanggung kerusakan lingkungan dalam jangka panjang.


“Kalau dibiarkan, ancaman banjir, longsor, dan pencemaran tanah hanya tinggal menunggu waktu,” ujar seorang aktivis dari LSM pemerhati lingkungan di Manado.


Kasus tambang galian C ilegal di Paal 4, Tikala, menjadi gambaran nyata bagaimana lemahnya penegakan hukum di sektor pertambangan.


Persoalan sekarang tidak sekadar menyangkut perizinan, tetapi juga menyangkut integritas aparat, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial bagi warga Kota Manado.


Publik kini menunggu apakah aparat kepolisian mampu membuktikan independensi dan keberanian untuk menindak pelaku ilegal yang sudah lama merusak tata hukum di daerah.


(Yb)



Lebih baru Lebih lama