“AMTI Pusat Tantang Kepala Bappeda Sulut Buka Data Resmi Soal Klaim Kemiskinan Ekstrem di Manado”.
![]() |
Ketua LSM AMTI Pusat, Tommy Turangan, (foto istimewa) |
IDNEWS.CO, MANADO — Pernyataan mengejutkan keluar dari Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sulawesi Utara, Elvira Kawatuuk, yang menyebut Kota Manado sebagai Daerah dengan tingkat Kemiskinan Ekstrem tertinggi di Sulawesi Utara.
Pernyataan tersebut disampaikan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Bappeda Sulut dan Komisi I DPRD Sulut beberapa waktu lalu.
Elvira menjelaskan bahwa hasil koordinasi tim percepatan penanggulangan kemiskinan menunjukkan Manado menduduki posisi tertinggi dalam kategori kemiskinan ekstrem.
Namun, pernyataan tersebut justru menimbulkan reaksi keras dan kebingungan publik. Pasalnya, tak lama setelah pernyataan itu diberitakan oleh sejumlah media online dan menjadi viral, data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Manado menunjukkan kondisi yang berbeda jauh.
![]() |
Tabel yang ada tentang kemiskinan oleh BPS Manado, (foto istimewa) |
Berdasarkan data resmi BPS Kota Manado Maret 2025, tercatat jumlah penduduk miskin di Kota Manado sebesar 4,99 persen atau sekitar 21.730 jiwa. Angka ini bahkan mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang berada di posisi 5,43 persen atau sekitar 23.590 jiwa.
Dengan demikian, penurunan sebanyak sekitar 1.800 jiwa menunjukkan adanya perbaikan ekonomi dan efektivitas program penanggulangan kemiskinan di ibu kota provinsi ini.
Jika merujuk pada data BPS tersebut, Kota Manado justru termasuk daerah dengan persentase penduduk miskin paling rendah kedua di seluruh Sulawesi Utara, bukan yang tertinggi sebagaimana dinyatakan oleh Bappeda Sulut.
Perbedaan signifikan antara data Bappeda Sulut dan BPS Kota Manado ini mengindikasikan ketidaksinkronan dalam sistem informasi dan validasi data pemerintah daerah.
Padahal, data mengenai kemiskinan ekstrem semestinya disusun berdasarkan indikator resmi BPS yang menjadi rujukan nasional, agar tidak menimbulkan tafsir keliru di tengah masyarakat maupun pengambil kebijakan.
Ketidakharmonisan dua lembaga ini berpotensi mengacaukan arah kebijakan pembangunan daerah, khususnya dalam hal alokasi anggaran untuk program pengentasan kemiskinan.
Menanggapi perbedaan data tersebut, Ketua LSM Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (AMTI) Pusat, Tommy Turangan, menyampaikan kritik keras terhadap Bappeda Sulut.
Menurutnya, pernyataan pejabat publik harus berdasarkan data dan dokumen resmi, bukan sekadar pendapat atau hasil rapat internal yang tidak memiliki dasar kuat.
“Aneh juga kenapa Bappeda menyebut kemiskinan ekstrem di Kota Manado paling mencolok, sementara data statistik menunjukkan angkanya justru kecil dibanding daerah lain,” ujar Turangan kepada awak media idnews.co di Manado.
Turangan menilai, Bappeda Sulut tidak hanya lemah dalam penyajian data, tetapi juga lalai dalam menjelaskan parameter kemiskinan ekstrem yang dijadikan acuan.
“Bappeda tidak menyampaikan angka atau persentase secara jelas. Sementara BPS justru menampilkan data lengkap beserta tabel. Ini memperlihatkan siapa yang bekerja dengan metode ilmiah, dan siapa yang hanya bicara tanpa dasar,” tambahnya tegas.
Lebih jauh, Turangan menduga pernyataan Bappeda Sulut bisa tergolong “asal bunyi” (asbun) karena tidak disertai bukti atau rujukan dokumen valid. Ia bahkan menantang langsung Kepala Bappeda Sulut untuk membuka data resmi yang menjadi dasar pernyataannya di hadapan publik.
“Kami mendesak Kepala Bappeda Sulut membuktikan ucapannya. Jika benar Manado disebut daerah kemiskinan ekstrem tertinggi, tunjukkan datanya secara terbuka agar masyarakat tahu kebenarannya,” tutup Turangan.
Turangan juga menilai, perbedaan data antarinstansi dapat berakibat fatal terhadap perencanaan pembangunan daerah.
Ketika Bappeda menggunakan data yang tidak sejalan dengan BPS, maka kebijakan yang lahir berpotensi salah sasaran — termasuk dalam penentuan wilayah prioritas bantuan sosial maupun program pemberdayaan ekonomi.
Selain itu, dalam konteks transparansi dan akuntabilitas publik, setiap lembaga pemerintah wajib memastikan bahwa pernyataannya didukung oleh basis data resmi dan metodologi yang diakui nasional.
Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi seluruh pejabat publik, bahwa di era keterbukaan informasi saat ini, setiap data yang disampaikan ke publik harus dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan administratif.
Kasus perbedaan data kemiskinan ekstrem antara Bappeda Sulut dan BPS Kota Manado bukan sekadar masalah angka, tetapi mencerminkan ketidakselarasan koordinasi dalam tata kelola pemerintahan daerah.
Di satu sisi, BPS menampilkan data yang menunjukkan kemajuan dan penurunan angka kemiskinan. Namun di sisi lain, Bappeda Sulut justru menyampaikan pernyataan yang kontradiktif tanpa dukungan data.
Kondisi inilah menimbulkan pertanyaan serius: apakah pemerintah provinsi benar-benar memahami substansi kemiskinan ekstrem, atau hanya berbicara tanpa rujukan ilmiah yang jelas?.
(Yudi barik)